KAJIAN FUNGSI LATEN TERHADAP
MITOS TINGGI MAKSIMAL BANGUNAN 15 METER DI BALI
DALAM
PERSPEKTIF PERUBAHAN IKLIM
Oleh : M.Fairuz Abadi, M.Si
STIKes Wira Medika Bali
Dalam
kehidupannya, masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan
dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ),
hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan
lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita
Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga
hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka
kesejahteraan akan terwujud.
Jika ditinjau
dari fungsi ekologi, mitos adanya pembatasan terhadap tinggi bangunan maksimal
setinggi 15 meter dari permukaan tanah, atau setinggi tumbuhnya pohon kelapa
memiliki fungsi laten yang berkaitan erat dengan upaya menghambat terjadinya fenomena
perubahan iklim. Hal ini dipandang sangat adaptif untuk diterapkan di kawasan
gugusan kepulauan kecil, seperti Bali.
Iklim suatu wilayah
dikendalikan oleh banyak faktor alam,
baik pada skala makro (seperti garis lintang) maupun pada skala meso (seperti
topografi, badan air). Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktor-faktor baru
dapat mengubah iklim lokal kota. Tata guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas
industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, adalah faktor-faktor
yang terus berkembang dan mempengaruhi iklim perkotaan.
Perubahan iklim disebabkan oleh meningkatnya suhu
rata-rata di permukaan bumi, hal ini antara lain dipengaruhi distribusi radiasi
matahari ke permukaan bumi. Segala sumber
energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi
tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika
energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang
menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan
memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra
merah gelombang panjang ke angkasa luar. Perbandingan antara
sinar matahari yang tiba di permukaan bumi dan yang dipantulkan kembali ke
angkasa dengan terjadi perubahan panjang gelombang (outgoing longwave radiation) dikenal sebagai albedo.
Albedo
juga didefinisikan sebagai nisbah antara radiasi matahari yang dipantulkan oleh
permukaan bumi (vegetasi, tanah atau bentuk permukaan lainnya) terhadap radiasi
yang diterima permukaan bidang tersebut. . Setiap material permukaan mempunyai albedo berbeda yang
mengubah fraksi dari radiasi matahari yang terpantul dan terserap di permukaan
bumi. Meningkatnya albedo terjadi sebagai akibat dari perubahan vegetasi hutan
menjadi vegetasi non-hutan. Keberadaan gedung- gedung pencakar langit menjadi
pemicu terjadinya efek albedo.
Efek
Albedo di bumi sebagian besar disebabkan karena desain perumahan perkotaan yang
tidak baik. Perumahan yang saling berdekatan dan adanya gedung-gedung pencakar
langit menyebabkan terjadinya akumulasi panas. Prosesnya adalah radiasi yang
sampai pada permukaan bangunan-bangunan tinggi yang berdekatan akan saling
memantul antara tembok gedung. Tembok gedung yang difusif menyebabkan radiasi
matahari terpantul secara difusif, artinya pantulan mengenai tembok lain lalu
dipantulkan lagi dan terjadilah pantul memantul secara simultan. Kejadian menyebabkan
timbulnya perangkap panas di kawasan yang padat dengan bangunan pencakar
langit, fenomena ini dikenal dengan Urban Heat Island (UHI). Geometri
tiga dimensi, wilayah padat gedung pencakar langit cenderung untuk menjebak
radiasi dekat permukaan, dan dengan demikian energi yang cukup besar yang
disimpan kota sepanjang siang hari, dilepaskan pada malam hari dengan proses
yang sangat lambat. Proses pendingingan di kawasan seperti ini jauh lebih
lambat bila dibandingkan dengan pendinginan yang terjadi yang memiliki jumlah
vegetasi cukup banyak. Urban Heat Island (UHI) dicirikan
seperti “pulau” udara permukaan panas yang terpusat di area urban dan akan akan
semakin turun temperaturnya di daerah sekelilingnya pada daerah suburban/rural,
sehingga berdampak pada ketidakseimbangan tekanan udara yang berpengaruh pada
perubahan iklim.
Kondisi daya tampung, daya dukung dan posisi
geogafis Bali sebagai gugusan pulau-pulau kecil mungkin telah disadari oleh
para leluhur masyarakat Bali sejak lama, sehingga melahirkan sebuah konstuksi
kearifan lokal yang dipegang teguh hingga kini terkait dengan adanya pembatasan
tinggi bangunan maksimal 15 meter di pulau Bali, sehingga kondisi iklim mikro
di kawasan Pulau Bali pada khususnya akan terjaga dalam keadaan seimbang.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Budi Purnomo, Agus. 2003 Pengaruh Bayangan
Bangunan dan Vegetasi Pada Suhu Udara di
Kampus A, Universitas Trisakti. Dimensi Teknik Arsitektur vol. 31, no. 2, Desember
2003: 152-157. Pusat Studi
Perkotaan Universitas Trisakti. Jakarta.
2.
http://www.astrobali.com/
tempat wisata, Sejarah, Geografis, dan Penduduk Bali _ ASTROBali™.htm (diakses
tanggal 10 Januari 2010).
3. http://www.blogger.com/profile/05455517709542514082/KAjian
RTRWP/Informasi - Penelitian.htm.
(diakses tanggal 10 Januari 2010).
4.
http://www.eurekalert.org/pub_releases/2009-12/nsfc-ev121509.php (diakses tanggal 10 Januari 2010).
6.
http://www.geography.about.com/.../urbaneconomicgeography/.../urbanheatisland.htm. (diakses tanggal 10 Januari 2010).
7.
http://lodegen.wordpress.com/
Kajian RTRWP/Tata Ruang Bali mau Kemana
« kamarkecil.htm. (diakses tanggal 10 Januari 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar