Jumat, 03 Februari 2012

KAJIAN FUNGSI LATEN TERHADAP MITOS TINGGI MAKSIMAL BANGUNAN 15 METER DI BALI DALAM PERSPEKTIF PERUBAHAN IKLIM


KAJIAN FUNGSI LATEN TERHADAP
MITOS TINGGI MAKSIMAL BANGUNAN 15 METER DI BALI
DALAM PERSPEKTIF PERUBAHAN IKLIM

Oleh : M.Fairuz Abadi, M.Si
STIKes Wira Medika Bali


Dalam kehidupannya, masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Jika ditinjau dari fungsi ekologi, mitos adanya pembatasan terhadap tinggi bangunan maksimal setinggi 15 meter dari permukaan tanah, atau setinggi tumbuhnya pohon kelapa memiliki fungsi laten yang berkaitan erat dengan upaya menghambat terjadinya fenomena perubahan iklim. Hal ini dipandang sangat adaptif untuk diterapkan di kawasan gugusan kepulauan kecil, seperti Bali.
Iklim suatu wilayah  dikendalikan oleh banyak faktor alam, baik pada skala makro (seperti garis lintang) maupun pada skala meso (seperti topografi, badan air). Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktor-faktor baru dapat mengubah iklim lokal kota. Tata guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, adalah faktor-faktor yang terus berkembang dan mempengaruhi iklim perkotaan.
Perubahan iklim disebabkan oleh meningkatnya suhu rata-rata di permukaan bumi, hal ini antara lain dipengaruhi distribusi radiasi matahari ke permukaan bumi. Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar.  Perbandingan antara sinar matahari yang tiba di permukaan bumi dan yang dipantulkan kembali ke angkasa dengan terjadi perubahan panjang gelombang (outgoing longwave radiation) dikenal sebagai albedo. Albedo juga didefinisikan sebagai nisbah antara radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi (vegetasi, tanah atau bentuk permukaan lainnya) terhadap radiasi yang diterima permukaan bidang tersebut. . Setiap material permukaan mempunyai albedo berbeda yang mengubah fraksi dari radiasi matahari yang terpantul dan terserap di permukaan bumi. Meningkatnya albedo terjadi sebagai akibat dari perubahan vegetasi hutan menjadi vegetasi non-hutan. Keberadaan gedung- gedung pencakar langit menjadi pemicu terjadinya efek albedo.



 
Efek Albedo di bumi sebagian besar disebabkan karena desain perumahan perkotaan yang tidak baik. Perumahan yang saling berdekatan dan adanya gedung-gedung pencakar langit menyebabkan terjadinya akumulasi panas. Prosesnya adalah radiasi yang sampai pada permukaan bangunan-bangunan tinggi yang berdekatan akan saling memantul antara tembok gedung. Tembok gedung yang difusif menyebabkan radiasi matahari terpantul secara difusif, artinya pantulan mengenai tembok lain lalu dipantulkan lagi dan terjadilah pantul memantul secara simultan. Kejadian menyebabkan timbulnya perangkap panas di kawasan yang padat dengan bangunan pencakar langit, fenomena ini dikenal dengan Urban Heat Island (UHI). Geometri tiga dimensi, wilayah padat gedung pencakar langit cenderung untuk menjebak radiasi dekat permukaan, dan dengan demikian energi yang cukup besar yang disimpan kota sepanjang siang hari, dilepaskan pada malam hari dengan proses yang sangat lambat. Proses pendingingan di kawasan seperti ini jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan pendinginan yang terjadi yang memiliki jumlah vegetasi cukup banyak. Urban Heat Island (UHI) dicirikan seperti “pulau” udara permukaan panas yang terpusat di area urban dan akan akan semakin turun temperaturnya di daerah sekelilingnya pada daerah suburban/rural, sehingga berdampak pada ketidakseimbangan tekanan udara yang berpengaruh pada perubahan iklim.




Kondisi daya tampung, daya dukung dan posisi geogafis Bali sebagai gugusan pulau-pulau kecil mungkin telah disadari oleh para leluhur masyarakat Bali sejak lama, sehingga melahirkan sebuah konstuksi kearifan lokal yang dipegang teguh hingga kini terkait dengan adanya pembatasan tinggi bangunan maksimal 15 meter di pulau Bali, sehingga kondisi iklim mikro di kawasan Pulau Bali pada khususnya akan terjaga dalam keadaan seimbang.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Budi Purnomo, Agus. 2003 Pengaruh Bayangan Bangunan  dan Vegetasi Pada Suhu Udara di Kampus A, Universitas Trisakti. Dimensi Teknik Arsitektur vol. 31, no. 2, Desember 2003: 152-157. Pusat Studi Perkotaan Universitas Trisakti. Jakarta.
2.      http://www.astrobali.com/ tempat wisata, Sejarah, Geografis, dan Penduduk Bali _ ASTROBali™.htm (diakses tanggal 10 Januari 2010).
4.      http://www.eurekalert.org/pub_releases/2009-12/nsfc-ev121509.php (diakses tanggal 10 Januari 2010).
5.      http://www.en.wikipedia.org/wiki/Urban_heat_island. (diakses tanggal 10 Januari 2010).
7.      http://lodegen.wordpress.com/ Kajian RTRWP/Tata Ruang Bali mau Kemana  « kamarkecil.htm. (diakses tanggal 10 Januari 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar